Rabu, 15 September 2010

Kegagalan politik lokal dan pilkada serta pengaruhnya terhadap birokrat daerah

Kegagalan politik lokal dan pilkada serta pengaruhnya terhadap birokrat daerah

Kegagalan dlm politik lokal dan pilkada membawa petaka bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah....melahirkan pemimpin2 korup, "aji mumpung" bermental penjilat...Mendesak, perlunya reformasi total trhadap management karir & sistim perekrutan yg syarat akan nilai2 kompetisi dan keterbukaan, shingga tidak melahirkan "bandit2" birokrat yg merongrong kredibilitas pemda dan uang daerah!

Kegagalan politik lokal dan pilkada juga memupuk semangat hedonisme para pemimpin terpilih untuk melanggengkan kekuasaan dengan membentuk dinasti kekuasaan di daerahnya. Alih-alih akan memikirkan pembangunan dan kesejahteraan di daerah, rasa takut akan kehilangan atau terputusnya dinasti kekuasaan akan terus menghantuinya.

Pemerintahan daerah yg di operasionalisasikan oleh Birokrat daerah sdh saatnya diberikan kepercayaan dan/atau hrs kembali mendapat kpercayaan masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan di daerah, yaitu dengan tetap menjaga jarak aman dari bandul politik dan kekuasaan yg akan memberangusnya. untuk itu perlu penataan kembali akan sistim perekrutan PNS daerah dan menciptakan management karier yg kompetitif, terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan, sehingga pejabat daerah dan perangkatnya dapat menjalankan kewajiban tanpa adanya rasa takut terhadap ketidak pastian tekanan politik.

Diperlukan keberanian, ketegasan dan komitment para ellit di daerah, dimotori oleh kepala daerah sebagai pionir dalam penataan kembali peran dan fungsi birokrat daerah. Sebagai alternatif, Kepala daerah selaku kepala pemerintahan di daerah, dapat diberikan keleluasaan atau hak preogratif untuk membentuk suatu comitte atau badan khusus yg membantu kepala daerah dalam mensukseskan pembangunan di daerah yg tntunya tugas dan fungsinya tidak tumpang tindih dengan pejabat struktural daerah.

Rabu, 06 Januari 2010

Kemelut Perubahan Sistim Pemilihan Gubernur di Indonesia (Suatu tinjauan demokrasi dan Otonomi Daerah)

Kemelut Perubahan Sistim Pemilihan Gubernur di Indonesia
(Suatu tinjauan demokrasi dan Otonomi Daerah)

Warga Negara dalam hal ini rakyat berhak untuk melakukan proses politik dan keputusan-keputusan politik baik nasional ataupun local sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan kedaulatan rakyat. Artinya dalam setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk melakukan aktifitas yang berhubungan dengan negara. Untuk itu warga Negara juga mendapat hak yang sama dalam melakukan aktifitas-aktifitas politik dan keputusan politik.
Keputusan politik warganegara yang paling kentara adalah pada saat pemilihan umum, selanjutnya, menurut ketentuan individu-individu dalam masyarakat juga dapat dipilih. Dalam memilih dan dipilih masyarakat memiliki hak kebebasan dalam ikatan kebersamaan.
Dalam pemilu, apakah legislatif ataupun eksekutif pusat dan atau daerah, rakyat dapat menggunakan haknya atau suaranya untuk memilih calon yang dianggap dapat mewakili aspirasinya dalam mempengaruhi keputusan politik. Agregasi kepentingan masyarakat pada pemilu legislative diwakili oleh partai politik dengan system suara terbanyak atau mayoritas.
Esensi dari kehidupan berdemokrasi adalah persamaan dan kebebasan. Persamaan dalam hukum dan kebebasan dalam hak memilih atau dipilih. Melalui pemilihan langsung, rakyat dihadapkan langsung untuk melakukan keputusan politik untuk memilih calon pemimpin yang diinginkannya secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Selain unsure kebebasan di dalamnya juga mengandung unsure persamaan hak di depan hukum baik diantara pemilih maupun dengan yang dipilih.
Lebih jauh the founding fathers Dr. Moh. Hatta wakil presiden RI pertama menekankan hakikat otonomi daerah pada esensi demokrasi dan kemandirian masyarakat, yang menyatakan :
“..memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-aktiveit. Auto-aktiveit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiveit tercapailah apa yang demaksud demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat..”(LAN, Jakarta 1996)

Oleh karenanya warga Negara yang terdiri dari berbagai elemen atau unsur-unsur sebuah Negara memiliki persamaan sederajat dengan masyarakat yang lainnya dalam kehidupan berpolitik. Selanjutnya masyarakat juga memiliki kepentingan-kepentingan pembawaannya yang dalam sistim politik terwakili oleh partai politik sebagai salah satu struktur politik dalam kehidupan berdemokrasi, selanjutnya disebut konstituen.
Banyak persoalan yang terjadi pada periode UU Nomor 5 Tahun 1974. Pasca perubahan format pemerintahan daerah dengan UU nomor 22 Tahun 1999 mengakhiri pengaruh pemerintah pusat yang dominan. Namun pemilihan kepala daerah oleh DPRD Provinsi membawa implikasi persoalan cukup serius baik pada tingkat elit maupun masyarakat local, seperti money politic antara calon kepala daerah dan DPRD, lobi-lobi politik yang jauh dari pantauan masyarakat sebagai social control, sampai kontroversi calon terpilih yang tidak memiliki kapasitas untuk memimpin daerah, tidak popular dan tidak dapat diterima oleh masyarakat banyak. Hal ini akan bermuara pada ketidak perdulian masyarakat sebagai elemen utama pembangunan yang mengawasi jalannya proses pembangunan dan pemerintahan di daerah.
Sampai tahap ini melahirkan apa yang disebut Strong Legislative, dimana Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi, membawa persoalan lain dalam pemerintahan di daerah, seperti terhambatnya proses pemerintahan, kinerja pelayanan yang rendah dan pembangunan yang terhambat di daerah. Dengan kata lain gubernur tidak memiliki wewenang utuh dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Hal ini lah yang membawa pada keinginan utuk merevisi terbatas UU 22 Tahun 99 menjadi UU 34 Tahun 2004 yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di suatu daerah.
Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, Andi Ramses (2003) menyatakan :
….”Demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat local (Robert Dhal, 1989). Tanpa pemberdayaan local, maka kerangka demokrasi pada tingkat nasional akan rapuh. Dalam proses ini perlu pembelajaran politik yang efektif yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, seingga masyarakat local benar-benar mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan tentang berbagai hal menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka”…

Pada perkembangannya ada keinginan pemerintah untuk merubah ketentuan tersebut dengan pemilihan gubernur oleh anggota legislative provinsi. Dengan argument bahwa pemilihan gubernur langsung memakan biaya yang terlalu besar dan membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Argument lain yang dibangun adalah Gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, dan hanya menjalankan tugas-tugas administrative, selain itu, mayoritas rakyat Indonesia masih “bodoh”, tidak dapat menentukan pilihannya dengan tepat, sehingga memungkinkan terjadinya “terror” politik.
Berdasarkan penjelasan di atas, sistim pemilihan gubernur harus dapat menjawab pertanyaan mendasar sebagai berikut:
1. Apakah pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi sesuai dengan esensi demokrasi?
2. Apakah pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi telah sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah?

Pemilihan Gubernur Sebagai Wujud Demokrasi Di Daerah
Filsuf berpengaruh Ariestoteles (384-322 SM) jauh-jauh hari telah mengisyaratkan keputusan warganegara mayoritas untuk berpartisipasi langsung dalam memilih calon pemimpinnya jauh lebih baik dibanding sejumlah orang tertentu (DPR/DPRD) :
….”Orang secara individual rentan dikuasai oleh kemurkaan atau perasaan-perasaan lain, dan karenanya penilaiannya cenderung tidak sempurna. Namun agak sulit memperkirakan bahwa manusia dalam jumlah besar akan terjerumus dalam suatu perasaan tertentu dan berbuat kesalahan pada saat yang sama”….

Pemlihan kepada daerah atau gubernur provinsi secara tidak langsung oleh DPRD dipandang tepat pada masa lalu karena paralel dengan pemilihan presiden oleh MPR. Pada era sentralisasi, pemerintah pusat memiliki pengaruh kuat dalam mempengaruhi terpilihnya gubernur disuatu provinsi, DPRD setempat hanya melegitimasi calon yang telah dipesan. Dan ini menimbulkan banyak konflik pemilihan kepala daerah. Issu tentang disintegrasi bangsa pada waktu itu sangat hangat.
Fakta menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat ini tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dimana agregasi kepentingan dan akulturasi kepentingan dalam sistim politik tidak tersalurkan, terjadi penyumpatan. Banyak kebijakan-kebijakan yang dihasilkan bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas.
Orang secara individual rentan dikuasai oleh kesewenangan atau hasrat-hasrat lain, karenanya penilaiannya cenderung bermasalah. Namun warga Negara dalam jumlah besar agak sulit akan terjerumus berbuat kesalahan dan hasrat-hasrat lain. Adalah mayoritas yang baik bisa bertanya mana yang tahan terhadap kemungkinan korupsi, apakah seorang pemimpin yang baik atau orang baik dalam jumlah yang banyak?
Partai politik melalui anggota DPRD cenderung dekat dengan kekuasaan dan sangat rentan terjadinya penggiringan kepentingan, sehingga bukan saja bertentangan dengan keinginan pemilih tetapi memungkinkan tejadinya bargaining politik yang mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Satu hal disini apakah prinsip keterwakilan melalui anggota DPRD yang terpilih dan memilih itu telah mewakili suara mayoritas masyarakat?.
Implikasinya adalah, pemberdayaan potensi local tidak paralel dengan perkembangan demokrasi di daerah. Masyarakat akan merubah kembali pemikirannya (main set) tentang pemilihan gubernur cukup diwakili oleh anggota DPRD Provinsi. Hal ini akan membentuk opini keragu-raguan terhadap gubernur terpilih, karena masyarakat tidak merasa memilih langsung calonnya, dan si calon terpilih tidak memiliki rasa bertanggung jawab langsung kepada masyarakatnya.
Hal lain, masyarakat mulai terbiasa dengan model pemilihan langsung, karena telah beberapa kali dilakukan baik pemilu local ataupun nasional dan merasa telah menyalurkan aspirasinya sesuai dengan keputusannya sendiri. Walaupun pada akhirnya pilihannya tidak terpilih, tapi ada rasa kepuasan, dan untuk yang tepilih dapat manjadi umpan balik baginya untuk mengevaluasi hasil pilihannya.
Proses pendewasaan ini terus tumbuh, ada proses pembelajaran disini, walaupun praktik-praktik money politik masih mewarnai dalam mempengaruhi keputusan individu untuk memilih calon tertentu, namun dengan sendirinya masyarakat akan mengalami pendewasan dan pematangan dalam kehidupan berdemokrasi secara utuh.
Memang ongkos yang dikeluarkan untuk mengadakan pesta demokrasi tidak sedikit. Pada titik ini, jika ingin berhitung terhadap ongkos yang telah dan akan dikeluarkan, maka Negara Indonesia akan mengalami kerugian besar. Tak terbayang berapa Rupiah yang telah dikeluarkan demi pematangan demokrasi di negeri ini. Belum lagi kerugian non material, social dan bahkan nyawa yang telah dikorbankan demi tegaknya demokrasi Negara Indonesia yang lebih baik.
Yang lebih miris, kita tak tahu kapan akan kembali lagi kepemilihan gubernur langsung jika wacana pemilihan gubernur oleh DPRD provinsi terlaksana, karena merubah aturan hukum tidak semudah yang dibayangkan. Artinya Bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa yang terbelakang dalam berdemokrasi. Selanjutnya, model pemilihan ini sudah pernah dijalankan, kasus berlarutnya pemilihan Gubernur Provinsi Lampung tahun 2004 membawa polimik berkepanjangan dan perpecahan dimasyarakat, sehingga masyarakat Lampung terkorbankan.
Wahyudi Kumorotomo (1996) menegaskan pentingnya partisipasi dan aspirasi warga Negara sebagai hak asasi dalam pembangunan politik :
”Bukan rahasia lagi bahwa di Negara kita ini pertimbangan pertimbangan ekonomis, stabilitas dan security sering mengalahkan pertimbangan-pertimbangan mengenai aspirasi dan hak asasi mereka sebagai warga Negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah disubordinasi oleh pembangunan ekonomis maupun kebijakan-kebijakan pragmatis tertentu”…

Pemilihan Gubernur Dalam Semangat Otonomi Daerah
Proses kehidupan berdemokrasi telah lama dibangun. Paska reformasi 1998, tuntutan untuk melaksanakan Negara yang demokratis terus digulirkan. Melahirkan UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menggantikan UU nomor 22 tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah
Pasal 24 ayat (2),(3) dan (5) UU nomor 34 tahun 2009 mengamanatkan : “kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat (2) dan (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Serentetan alur perkembangan dan pematangan berdemokrasi kurun waktu 10 tahun terakhir akan dirusak dengan mengubah aturan mengenai pemilihan gubernur.
Desentralisasi kepada daerah otonom mensyaratkan adanya penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri. Hal ini tidak hanya menuntuk pelimpahan wewenang, tapi juga menuntut pelimpahan administrasi dan pelimpahan fiskal (desentralisasi fiscal) pada suatu daerah otonom. Artinya ketiga kewenangan itu tidak dapat dipisahkan.
Walaupun gubernur sebagai wakil pemerintah atau perpanjangan pemerintah pusat di daerah melalui pelimpahan wewenang dekonsentrasi, namun pemerintahan provinsi adalah bagian dari pemerintahan daerah itu sendiri yang memiliki tugas dan wewenang menjalankan pemerintahan di daerah dengan otonomi seluas-luasnya dalam skala Provinsi.
Douglas McGregor ia menyimpulkan bahwa :
“People tend to grow and develop more rapidly and they are motivated more effectively if decision making are decentralistic”.

Dikatakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya dapat memperbaiki kualitas dari keputusan yang diambil, tetapi juga akan memperbaiki kualitas pengambil keputusan itu sendiri, dalam hal ini keputusan politik masarakat local.
Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pembelajaran politik dalam upaya memperkuat sistim local dan otonomi daerah sebagai proses demokratisasi. Selanjutnya pemilihan gubernur langsung juga sebagai proses pemberdayaan masyarakat di daerah melalui partisipasi public dalam melakukan keputusan politik menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka, sehingga gubernur yang terpilih juga mendapat legitimasi yang cukup kuat dimasyarakat, karena prosesnya dilakukan secara langsung oleh masyarakat.
Pemilihan gubernur secara langsung memberikan ruang terciptanya semangat otonomi daerah berdasarkan nilai-nilai demokrasi dan kesadaran politik local (Conscientization) untuk terlibat lebih jauh dalam realitas social politik yang ada. Dalam konteks ini kedaulatan rakyat menjadi lebih mudah dipahami dan diimplementasikan dalam semangat otonomi daerah.
Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, Andi Ramses (2003) dalam “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung” menyatakan :
….”Demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat local (Robert Dhal, 1989). Tanpa pemberdayaan local, maka kerangka demokrasi pada tingkat nasional akan rapuh. Dalam proses ini perlu pembelajaran politik yang efektif yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, seingga masyarakat local benar-benar mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan tentang berbagai hal menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka”…

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Pemilihan Gubernur langsung merupakan proses pembelajaran demokrasi yang menekankan pada pemberdayaan masyarakat local sebagai upaya dari pembangunan mayarakat yang bebas dan bermartabat.
Menurut United Nation Center For Regional Development (UNCRD, 1985) bahwa model pembangunan yang lebih desentralistik salah satunya yang paling utama adalah pembangunan manusia, dimana :
“kehendak, komitmen, dan kemampuan manusia sebagai anggota masyarakat merupakan sumber pembangunan yang strategis”. “Pembangunan masyarakat menyangkut suatu upaya terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensialitas anggota masyarakat dan memobilisasikan antusiasme mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, pembangunan masyarakat.
…dengan demikian merupakan upaya “….to promote the empowerment of people, instead of perpetuating the depency creating relationship so characteristic of top-down approach” (Hollnsteiner, 1985)

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan akses mendekatkan diri kepada masyarakat, memberdayakan segenap potensi local, membaiknya proses pelayanan public. Tak dapat dipungkiri pemilihan kepala daerah langsung yang selama ini telah dilaksanakan juga memiliki berbagai persoalan dan kelemahan yang harus terus diperbaiki.
Berbagai persoalan dan kontroversi terus mewarnai pemilihan kepala daerah langsung yang telah dilaksanakan belakangan ini. Ke depan, itu diperlukan langkah-langkah strategis demi perbaikan sistim pemilihan kepala daerah langsung dan meningkatkan kualitas kepala daerah terpilih. Berkaitan dengan ini hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah:
Pertama, pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan secara demokratis, yang memberikan peluang kepada calon kepala daerah untuk berkompetisi secara fair dan peningkatkan partisipasi public dalam proses pemilihan. Untuk itu diperlukan aturan pemilihan kepala daerah yang sesuai dengan semangat demokrasi. Pemilihan kepala daerah harus bebas dari segala bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara pada berbagai tingkatan.
Kedua, pilkada langsung harus didasari prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Hal ini menyangkut sistim, personal, alat dan aturan berlaku harus dapat diarahkan untuk proses pilkada gubernur dengan ongkos se-efisien dan seoptimal mungkin. Tahap-tahapan pemilihan tidak rumit atau sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Selain itu tahap-tahapan pelaksanaan pilkada dilakukan secara terbuka dan transparan.
Ketiga, sosialisasi peraturan dan aturan main pilkada gubernur secara intensif harus dilaksanakan kurun waktu tiga sampai enam bulan sebelum pemilihan, tidak ada perubahan aturan pemilihan dalam periode tersebut, dan tidak hanya urusan KPUD. Untuk itu diperlukan upaya semua pihak dan elemen masyarakat untuk mensuksesannya. Disini diperlukan suatu komunikasi politik dan pendidikan politik antara supra dan infrastur politik secara berkesinambungan dan objektif.
Keempat, lembaga-lembaga Pemilihan Umum Daerah seperti KPUD dan Panwaslu harus kredibel, professional, independent dan bertanggung jawab. Untuk itu perlu mendesain ulang proses rekruitmen, proses pengawasan, penyelesaian sengketa, perselisihan, dan pelanggaran pemilu. Untuk pelanggaran yang mengandung unsure pidana kiranya dapat dibentuk peradilan ad hoc pemilihan.
Kelima, diperlukan keakuratan jumlah dan sebaran mata pilih pada suatu daerah. Jumlah pemilih dan harus credible dan up to date. Hendaknya carut marut Daftar Pemilih Tetap (DPT) seperti pemilu 2009 lalu tidak terulang. Untuk itu perlu penegasan tentang siapa yang bertanggung jawab atas urusan ini, apakah KPU/KPUD ataukah Pemerintah Pusat/daerah. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan pihak terkait dalam hal perbaikan sistim administrasi kependudukan dan catatan sipil.
Wacana mengubah pemilihan gubernur langsung dengan pemilihan gubernur yang dipilih oleh anggota legislative provinsi sesungguhnya penistaan terhadap esensi demokrasi dan semangat otonomi daerah. Karena mengabaikan kedaulatan rakyat, dan menghilangkan unsure-unsur kebersamaan dan kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi, mengakibatkan legitimasi gubernur sebagai kepala daerah pun diragukan, sehingga proses pelayanan kepada masyarakat, pembangunan di daerah dan pendewasaan demokrasi di daerah menjadi terhambat.
Selanjutnya, sistim pemilu dan kepartaian di Indonesia belum berjalan dengan baik, belum menghasilkan anggota dewan yang memiliki kapabilitas. Partai politik melalui anggota dewan belum berjalan sesuai yang diharapkan mewakili kepentingan orang banyak. Sehingga mempercayakan kepada anggota DPRD Provinsi untuk memilih gubernur adalah tindakan yang mendustai semangat otonomi daerah.
Sistim pemilihan kepala daerah secara langsung harus terus diperbaiki demi tercapainya tujuan otonomi daerah sehingga menghasilkan gubernur atau kepala daerah yang memiliki kapabilitas dan kepercayaan masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Berdasarkan analisis di atas wacana untuk merubah sistim pemilihan gubernur tidak dapat diterima secara aturan perundang-undangan, prinsip-prinsip demokrasi dan semangat otonimi daerah. Demikian hendaknya tulisan ini dapat mengilhami perlu atau tidaknya pemilihan gubernur oleh anggota DPRD provinsi, dan bentuk pemilihan gubernur langsung oleh masyarakat setempat adalah bentuk yang paling ideal saat ini.
Tuntutan akan perlunya pemilihan gubernur langsung merupakan paket energi untuk perkembangan demokrasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai dasar pemikiran dari tulisan ini, adalah hal-hal utama yang memberikan pencerahan dan penekanan terhadap pentingnya sistim pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati ataupun walikota secara langsung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi sebagai upaya mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

Selasa, 15 September 2009

Sejarah Neo-liberalisme

Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di Indonesia, yaitu oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-Perang Dunia II – Walter Euchen, Friedrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke. Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dapalm kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan dan politik perekonomian sesuai.
Secara umum paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalisme atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggeris abad ke-17 M, Thomas Hobbes dan John Locke. Aliran ini berkembang pasat pada abad ke-18 M. Menurut dua filosof ini dalam kodratnya manusia bukanlah mahluk altruistik atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung pula tidak kooperatif atau bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale) adalah mengutamakan kepentingan pribadi.
Dalam bukunya Leviathan Thomas Hobbes mengatakan bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” (homo homini lopus). Semboyannya yang lain yang terkenal ialah “a war of all against all”. Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu harus ada negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki absolute. Bentuk kekuasaan absolut ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis IX yang terkenal dengan semboyannya “Le`etat est moi” (negara adalah saya).
Dengan jalan piikiran yang sama John Locke membawa liberalismenya ke tempat lain. Kebebasan, menurutnya, tak punya nilai instrinsik. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia menunjuk property sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau hidup bermasyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat. Lebih jauh baginya kehidupan sosial tak lebih daripada gelanggang persaingan bebas antar individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur tangan negara.
Berdasarkan pemkiran dua fiolosof abad ke-17 itu Adam Smith (1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi. Menurutnya pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar. Di sini liberalisme, dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai pemeliharaan kebebasan individu untuk berjual beli dan saling bersaing dengan bebas di pasar. Motivasi jual beli bukan kerjasama, melainkan kepentingan pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing (Mead 1972:14-6).
Dalam bukunya An Enquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) Adam Smith mengatakan bahwa sebagai mahluk ekonomi manusia cenderung memburu kenikmatan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya. Jika tabiat bawaan manusia yang individualistik, egosentrik dan condong pada kebebasan ini dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/negara, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan, dan dengan demikian inovasi dan kreativitas dapat berkembang.
Bersumber dari pemikiran Adam Smith, pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan berkobarnya Revolusi Perancis dan lahirnya Revolusi Industri di Inggeris, lahir pula dua aliran pemikiran yang dominan. Yaitu individualisme di bidang hukum dan anthropologi filsafat, dan ide psar terbuka yang berkaitan dengan perkembangan industri. Menurut paham inidividualisme, manusia yang lahir dengan bawaan bebas dan hidup bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya. Paham ini sangat dominant pada abad ke-20 dalam kehidupan politik, ekoomi, dan seni.
Aliran kedua berkenaan dengan berpindahnya pusat usaha dari kaum merkantilis (pedagang) ke tangan kaum industrialis. Kaum industri yang menguasai modal ini pantang berkoalisi seperti partai-partai politik, dan hanya bisa membuat persekutuan modal dalam bentuk perseroan terbatas. Semakin lama persekutuan ini kian kuat dan mengancam kehidupan kaum pekerja yang dilarang berserikat. Dari perkembangan inilah lahir badan-badan monopoli atau oligopoly yang begitu berkuasa. Tetapi sebagai hasil dari perjuangan kaum sosialis, negara-negara industri di Eropa memperkenankan kaum buruh membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan nasibnya.
Pada awal abad ke-20 zaman keemasan individualisme ekonomi mulai pudar. Perag Dunia I (1914-1918) mendorong negara-negara kapitalis memberlakukan banyak auran yang mengekang sistem pasar bebas. Krisos ekonomi pada decade 1920an juga mendorong negara-negara Eropa untuk menyusun industrinya masing-masing dengan berbagai proteksi. Pada tahun 1929 krisis hebat melanda kapitalisme disusul dengan bayangan bangkitnya kembali Fascisme Jerman dan Italia. Berbagai regulasi diberlakukan agar ekonomi rakyat tidak ambrug. Pada masa inilah gagasan Ekonomi Terpimpin atau yang semacam itu mulai diterapkan di beberapa negara Eropa.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, seorang ahli ekonomi terkenal Karl Polanyi menerbitkan buku yang kemudian masyhur The Great Transformation (1944). Dia mengecam keras masyarakat industri kaplitalis yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada sistem pasar bebas. “Dengan mengakui mekanisme pasar sebagai satu-satunya penentu nasib manusia dan kondisi alam lingkungannya,” kata Polanyi, “kerusakan besar akan menimpa masyarakat.” (hal 73). “Kerusakan itu tidak akan terjadi jika kepentingan masyarakat tidak diabaikan di atas kepentingan individu.”
Pandangan Polanyi dan lain-lain berpengaruh besar di dunia, ditopang lagi dengan Perang Dingin antara Blok Barat yang kapitalis dengan Bolok Timur yang sosialis-komunis. Neo-liberalisme untuk sementara waktu harus bertiarap.
Memasuki dekade 1970an sistem sosialisme mulai memperlihatkan kegagalan dan negara-negara industri mulai mengalami krisis. Keyakinan akan keunggulan sistem pasar bebas mulai bertunas kembali. Pada tahun 1974 Robert Nozick, seorang filosof politik Amerika, menerbitkan buku Anarchy, State and Utopia yang kemudian masyhur dan dianggap sebagai tanda nyata lahirnya kembali liberalisme dalam bentuknya baru. Dalam bukunya itu Nozick mengatakan bahwa tugas negara bukanlah memaksakan sistem dan pola tertentu bagi kehidupan warna negara, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaannya.
Menurutnya, gagasan tentang keadilan dan pemerataan bertentangan dengan kodrat manusia yang menginginkan kebebasan penuh. Negara karenanya tidak boleh melakukan intervensi atas apa yang berlalu di pasar. Biarkan pemodal dengan modalnya saling bersaing. Peranan negara dengan demikian harus ditekan seminimal mungkin dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Urusan negara yang terpenting adalah menentukan kebijakan luar negeri. Berdasar pemikiran Nozick, seorang ahli ekonomi terkenal dari Universitas Chicago Friedrich von Hayek dan para pengikutnya seperti Milton Friedman mengembangkan pemikiran yang dikenal dengan sebutan ekonomi pasar bebas atau neo-liberalisme
Pada akhir 1970an gagasan neo-liberalisme mulai tersebar luas dan diterima banyak sarjana dan pemimpin negara maju. Antara lain Ronald Reagan dan Margareth Tatcher. Tatcher sendiri adalah seorang pengikut von Hayek, yang meyakini kebenaran teori Darwin tentang survival of the fittest. Begitu terpilih jadi PM Inggeris pada tahun 1979, ia mencanangkan doktrin neo-liberalismenya yang dikenal dengan sebutan TINA (There is No Alternative). Dalam doktrinnya itu dikemukakan keutamaan persaingan bebas dalam kehidupan manusia, termasuk persaingan antar bangsa, negeri, perusahaan besar, dan umat berbeda agama, serta persaingan antar individu dalam masyarakat (Susan George 1999).
Persaingan bagi Tatcher adalah kebajikan tertinggi. Akibat-akibat daripadanya tidak boleh dipandang buruk. Pasar adalah pusat kebijakan dan kebajikan tertinggi, menggantikan peranan Tuhan. Sebagaimana Tuhan pula ia dapat menelorkan kebaikan dari sesuatu yang tampaknya jahat dan buruk. Melalui kebijakannya itu sector public dihancurkan. Akibatnya antara tahun 1979-1995 jumlah pekerja di Inggris dikurangi dari 7 juta menjadi 5 juta. Sementara itu income yang diperoleh negara dari pajak bukannya digunakan untuk kepentingan public, melainkan untuk menutupi hutang perusahan-perusahaan besar dan memberikan suntikan modal baru agar bangkit kembali dari kebangkrutan. (Alexander AS)

Kamis, 25 Juni 2009

Konsep Kebijakan Ekonomi Capres SBY tidak jelas

Konsep Kebijakan Ekonomi Capres SBY tidak jelas

SBY terlihat tidak tegas dan selalu berada pada wilayah abu2, ambivalen, ambil jlalan tengah dan cenderung main aman. Konsep kebijakan ekonomi SBY tidak jelas arahnya. Konsep ekonomi jalan tengah dan statement “kapitalisme asing” dan ” “kapitalisme rambut hitam”, memposisikan diantara kedua hal tersebut, seolah-olah ingin merangkul semuanya. Faktanya rakyat miskin makin banyak, harga sembako makin tinggi, uang gak ada arti, padahal Negara ini memiliki sumber daya melimpah untuk kesejahteraan rakyat. Sangat terasa kita masih dikendalikan asing, ekonomi Indonesia telah digantung dalam utang pemerintah yang sangat besar, saat ini jumlahnya mencapai Rp1.700triliun naik Rp400trilun dibanding tahun 2004.

Kapitalisme asing dan Kapitalisme rambut hitam

Bahasa ini aneh dan sangat interpretative. Kapitalisme asing alias proses pemupukan modal yang didominasi asing melalui mekanisme pasar seutuhnya, sehingga memungkinkan asing untuk memobilisasi struktur modal dan proses ekonomi nasional secara bebas demi mencapai tujuannya. Di sinilah ruhnya neoliberalisme, semakin sedikit intervensi pemerintah akan semakin baik.

Waktu telah membuktikan bahwa situasi perekonomian seperti ini telah gagal. Pertanyaannya, siapa yg setuju dengan dominasi asing!? Tidak ada satupun makhluk hidup di republic ini yang mau didominasi atau diintervensi asing. Statemen SBY tentang ini bisa menimbulkan keragu-raguan atas upaya untuk memajukan perekonomian nasional melalui kemandirian ekonomi kerakyatan.

Apa yg dimaksud kepitalis rambut hitam?? apakah tidak boleh warga negara Indonesia menjadi pengusaha kemudian menjadi besar dalam menggerakkan perekonomian nasional? Bukankah kita ingin pengusaha kita menjadi tuan rumah dinegeri sendiri. Pengusaha dalam negeri harus didukung untuk mencapai kapasitas produksi yang ideal dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, meningkatkan kinerja daya saing untuk dapat berkompetisi dilevel global sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang kuat berbasiskan industri nasional.

Hampir diseluruh Negara di muka bumi ini melindungi dan memberikan fasilitas kepada pengusaha nasional-nya. Bahkan Amerika sekalipun yang menganut liberalisme nyata-nyata selalu memproteksi usaha nasionalnya. Malaysia 1967 dengan The New Ekonomi Polici yang melahirkan perusahaan-perusahan nasional yang dapat bersaing secara global, bahkan mantan Presiden Sukarno dengan kebijakan kemandirian/banteng

Kalaupun ada kekhawatiran terhadap intervensi dari kapitalisme rambut hitam dan kapitalisme asing terhadap pemerintah, sebetulnya SBY tidak perlu takut, bukankah ada aturan, hukum dan lembaga berwenang yang mengawasi persaingan usaha yang sehat . Hal ini justru menunjukkan kalau aroma intervensi dari pengusaha baik nasional ataupun asing dalam lima tahun terakhir sangat tajam, itu artinya penegakan hukum di negara ini perlu dipertanyakan??.

Ada dua hal yang dapat dipelajari kenapa SBY mengeluarkan statement ini. Pertama, counter issu terhadap lawan politiknya yang berlatar belakang pengusaha. Kalau ini yang terjadi maka, SBY dan tim kampenya telah terperangkap ke dalam egoisme issu tanpa melihat dampaknya. Kedua, meyakinkan bahwa pengusaha asing mendapat tempat terhormat dengan meraih porsi setengah, artinya kapitalisme asing dapat langgeng menjajah ekonomi nasional seperti selama ini terjadi. Kalau memang kedua hal tersebut melandasi statemen-statemen SBY, berarti SBY jangan mengaku pro ekonomi kerakyatan, berburuk sangka terhadap pengusaha nasional.

Kalau yang dikhawatirkan SBY bisa menghambat pembangunan dan pemerataan ekonomi dengan penguasaan modal (capital) baik asing ataupun rambut hitam, disitulah fungsi pemerintah sebagai stabilisator dan distribusi demi kesejahteraan yang merata. Hal ini menunjukkan pemerintah telah salah kebijakan dalam melaksanakan fungsi pemerataan pembangunan. Artinya pemerintahan SBY secara tidak langsung mengamini kesalahan kebijakan ekonomi selama ini, dimana kesenjangan ekonomi dan akumulasi modal yang terpusat tidak bisa dihindarkan.

Bagaimana mungkin ditengah klaim keberhasilan pemberantasan kemiskinan, ekonomi yang relative kuat, rupiah stabil, indeks saham tertinggi dalam sejarah, dan cadangan devisa tertinggi. Tapi kenyataannya rakyat makin miskin dan makin banyak yang miskin, gap antara sikaya dan miskin semakin lebar. Jauh-jauh bicara keberpihakan pada pengusaha dan industri nasional, yang ada pengusaha nasional yang terjepit-sempit dilepas berkompetisi dengan asing yg nyata-nyata tidak seimbang.

Semua tau kalau saat ini kehidupan suatu Negara tidak terlepas dari interaksi global, semua juga tau saat ini tidak ada kebijakan murni sosialis dominasi Negara dan liberalis yg menghamba pada kekuatan pasar, dan semua telah tau akibat dari kebijkan ekstrim tersebut. Alan Greenspan Kepala Federal Reserve jaman Reagan jelas-jelas mengatakan dalam hearing dengan komisi Government Oversight & Reform di DPR Amerika oktober tahun lalu, mengakui melakukan kesalahan dalam kebijakan pasar yang telah dilakukan.

Ekonomi jalan tengah

Sebetulnya konsep ekonomi jalan tengah bukanlah hal baru, karena tampa disebut juga semua telah mengetahuinya, dimana point utama adalah kesejahteraan yang merata, dengan hasil yang bisa dinikmati baik oleh pelaku ekonomi nasional ataupun asing tanpa ada pembedaan. Disinilah sebenarnya jalan pikiran para teknokrat ekonomi SBY telah terperangkap dalam arus pemikiran liberal gaya baru.. Ditengah kondisi iklim yang tidak konsdusif, lemahnya sistim perekonomi mikro dan makro ditopang dengan ketidak siapan SDM nasional merupakan tindakan bunuh diri. Dengan konsep ini sebenarnya telah memuluskan gurita-gurita asing menghisap capital nasional, seperti yang selama lima tahun ini terjadi.

Ekonomi jalan tengah plus target pertumbuhan ekonomi 7% ke bawah tidak akan mengeluarkan bangsa ini dari krisis hanya dalam lima tahun. Itu artinya pemerintah tidak berkerja dlm menciptakan iklim usaha yg kondusif dan sistim perekomonian yang kuat, serta tidak perduli dalam mengatasi pengangguran yang mencapai 40 juta orang dan telah mencapai tingkat menghawatirkan.

Mencermati kinerja pemerintah lima tahun terakhir, ketahanan ekonomi yang selalu digembor-gemborkan dengan rata-ata 5,8% pertumbuhan ekonomi ternyata semu, penuh trik dan dalamnya bobrok. Indikasinya adalah jumlah hutang yang besar, pertumbuhan mengandalkan sector konsumsi yang jg berasal dari hutang, yang kemudian akan ditambal dengan hutang baru, tingkat inflasi tinggi , pengangguran tinggi, sector riil mandeg, sementara kapasitas produksi sector industri hanya tumbuh di bawah 2% pertahun.

Selanjutnya, target pertumbuhan maksimal 7% dengan mengandalkan tingkat konsumsi masyarakat ataupun pemerintah dengan arus investasi hot money (investasi jangka pendek) melalui pasar modal/saham yang terlalu spekulatif (uncertainty)-rentan terhadap aksi dan reaksi spekulan sebagai “dewa” pasar, justru ini yang menjadi ciri khas faham Neoliberalisme selain penjajahan ekonomi dalam memupuk modal, disadari atau tidak para ahli keuangan SBY telah terperangkap ke dalam mazhab neoliberalisme.

Dengan GDP Rp5000triliun tahun 2008, rasio hutang dan GDP hanya 33%, meyakinkan kalau hutang Negara yang begitu besar bukan masalah. Dengan selalu membanding-bandingkan dengan Negara lain. Padahal kita tau GDP kita disumbangkan pula oleh konsumsi pemerintah dan rakyat yang notabene mengandur unsure hutang. Anehnya, ditengah sesumbar berhasil memperkecil beban utang, Indonesia justru menduduki peringkat ke4 negara penghutang terbesar di dunia setelah Mexico, Brazil dan Turki.

Apa bedanya kalau utang dikurangi tapi privatisasi “buta” jalan terus, parahnya praktek KKN masih meralela. Besarlah pasak dari tiang, demi gengsi, hutang baru dikurangi namun BUMN kita dijualin terus. Inilah salah satu bukti asing masih memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia.

Persoalannya adalah, ditengah kondisi politik yang relative stabil dan perekonomian cenderung membaik pada 2004-2008 dibandingkan 2001-2004, seharusnya utang dapat diperkecil lagi, sector riil dapat diandalkan, sehingga sector produktif pertumbuhan ekonomi bisa memperbesar penyerapan lapangan kerja secara berkelanjutan. Adapun tenaga kerja nasional yang terserap hanya 30%, minimnya ketersediaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas tenaga kerja itu sendiri merupakan persoalan kelasik yang terus menghantui.

Kebijakan-kebijakan yang mengkebiri ekonomi kita, seperti pembebasan tariff impor untuk produk tententu, ekspor bahan baku, pemotongan pajak, disiplin fiscal, pengurangan peran pemerintah pada sector strategis, dst sangat terasa di depan mata. Sepertinya pemerintah harus kembali kekonsep awal yaitu menyelenggarakan kebijakan yang mensejahterakan rakyat secara luas dan merata. Pada tahun 1933 bung Hata melalui tiga platform pembangunan ekonomi kerakyatan yaitu , mensejahterakan seluruh rakyat, menghapuskan kolonialisasi ekonomi dan kemandirian ekonomi nasional.

Tindakan nyata Pemerintah

Krisis ekonomi membuat kedaulatan dan martabat bangsa diinjak injak, dan ini sudah terbukti dengan kejadian-kejadian yang mengganggu hubungan Indonesia dengan Malaysia. Jangan bicara kerakyatan kalau tidak bisa melindungi dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada rakyat, jgn bicara pertumbuhan-sustainable kalau hanya mengandalkan konsumsi dan hutang, jangan bicara kedaulatan kalau harga diri tergadai, jangan bicara kemandirian ekonomi kalau SDA kita dihisap oleh gurita-gurita kapitalis “berkedog” kerakyatan.

Konsep kebijakan ekonomi capres SBY-Boed menunjukkan ketidak-seriusan, ketidak -berpihakan dalam membangun dan memperkuat perekonomian kerakyatan yang selama ini telah terbengkalai. Saat ini Indonesia memerlukan eksselaresi pertumbuhan lebih dari 7%, percepatan pemberdayaan ekonomi nasional, menggerakkan sector riil, pembangunan infrastruktur efektif untuk mengejar ketinggalan atas kegagalan ekonomi yang selama ini terjadi. Selain tidak tegas, juga diragukan komitmennya untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa, padahal nyata-nyata perekonomian kita memerlukan keberpihakan pemerintah dalam mensupport kemandirian ekonomi kerakyatan.

Lebih dari itu, yang diperlukan saat ini tidak hanya keberpihakan pemerintah, tindakan nyata pemerintah dalam membangkitkan dan memajukan kemandirian ekonomi nasional, sehingga pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan dan industri nasional menjadi pilar utama dalam menopang perekonomian Indonesia secara berkelanjutan. Jauh panggang dari api, konsep ekonomi jalan tengah tidak merefleksikan perubahan pengelolaan pembangunan berdasarkan sumber daya yang kita miliki. Bagaimana mungkin kita akan mempertahankan reputasi sebagai Negara miskin, Negara korup dan Negara penghutang besar, sementara kata orang Negara kita adalah Negara kaya dengan sumber-sumber daya melimpah, namun selalu gelisah menatap masa depan dengan pasrah. (zuli)