Kamis, 25 Juni 2009

Konsep Kebijakan Ekonomi Capres SBY tidak jelas

Konsep Kebijakan Ekonomi Capres SBY tidak jelas

SBY terlihat tidak tegas dan selalu berada pada wilayah abu2, ambivalen, ambil jlalan tengah dan cenderung main aman. Konsep kebijakan ekonomi SBY tidak jelas arahnya. Konsep ekonomi jalan tengah dan statement “kapitalisme asing” dan ” “kapitalisme rambut hitam”, memposisikan diantara kedua hal tersebut, seolah-olah ingin merangkul semuanya. Faktanya rakyat miskin makin banyak, harga sembako makin tinggi, uang gak ada arti, padahal Negara ini memiliki sumber daya melimpah untuk kesejahteraan rakyat. Sangat terasa kita masih dikendalikan asing, ekonomi Indonesia telah digantung dalam utang pemerintah yang sangat besar, saat ini jumlahnya mencapai Rp1.700triliun naik Rp400trilun dibanding tahun 2004.

Kapitalisme asing dan Kapitalisme rambut hitam

Bahasa ini aneh dan sangat interpretative. Kapitalisme asing alias proses pemupukan modal yang didominasi asing melalui mekanisme pasar seutuhnya, sehingga memungkinkan asing untuk memobilisasi struktur modal dan proses ekonomi nasional secara bebas demi mencapai tujuannya. Di sinilah ruhnya neoliberalisme, semakin sedikit intervensi pemerintah akan semakin baik.

Waktu telah membuktikan bahwa situasi perekonomian seperti ini telah gagal. Pertanyaannya, siapa yg setuju dengan dominasi asing!? Tidak ada satupun makhluk hidup di republic ini yang mau didominasi atau diintervensi asing. Statemen SBY tentang ini bisa menimbulkan keragu-raguan atas upaya untuk memajukan perekonomian nasional melalui kemandirian ekonomi kerakyatan.

Apa yg dimaksud kepitalis rambut hitam?? apakah tidak boleh warga negara Indonesia menjadi pengusaha kemudian menjadi besar dalam menggerakkan perekonomian nasional? Bukankah kita ingin pengusaha kita menjadi tuan rumah dinegeri sendiri. Pengusaha dalam negeri harus didukung untuk mencapai kapasitas produksi yang ideal dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, meningkatkan kinerja daya saing untuk dapat berkompetisi dilevel global sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang kuat berbasiskan industri nasional.

Hampir diseluruh Negara di muka bumi ini melindungi dan memberikan fasilitas kepada pengusaha nasional-nya. Bahkan Amerika sekalipun yang menganut liberalisme nyata-nyata selalu memproteksi usaha nasionalnya. Malaysia 1967 dengan The New Ekonomi Polici yang melahirkan perusahaan-perusahan nasional yang dapat bersaing secara global, bahkan mantan Presiden Sukarno dengan kebijakan kemandirian/banteng

Kalaupun ada kekhawatiran terhadap intervensi dari kapitalisme rambut hitam dan kapitalisme asing terhadap pemerintah, sebetulnya SBY tidak perlu takut, bukankah ada aturan, hukum dan lembaga berwenang yang mengawasi persaingan usaha yang sehat . Hal ini justru menunjukkan kalau aroma intervensi dari pengusaha baik nasional ataupun asing dalam lima tahun terakhir sangat tajam, itu artinya penegakan hukum di negara ini perlu dipertanyakan??.

Ada dua hal yang dapat dipelajari kenapa SBY mengeluarkan statement ini. Pertama, counter issu terhadap lawan politiknya yang berlatar belakang pengusaha. Kalau ini yang terjadi maka, SBY dan tim kampenya telah terperangkap ke dalam egoisme issu tanpa melihat dampaknya. Kedua, meyakinkan bahwa pengusaha asing mendapat tempat terhormat dengan meraih porsi setengah, artinya kapitalisme asing dapat langgeng menjajah ekonomi nasional seperti selama ini terjadi. Kalau memang kedua hal tersebut melandasi statemen-statemen SBY, berarti SBY jangan mengaku pro ekonomi kerakyatan, berburuk sangka terhadap pengusaha nasional.

Kalau yang dikhawatirkan SBY bisa menghambat pembangunan dan pemerataan ekonomi dengan penguasaan modal (capital) baik asing ataupun rambut hitam, disitulah fungsi pemerintah sebagai stabilisator dan distribusi demi kesejahteraan yang merata. Hal ini menunjukkan pemerintah telah salah kebijakan dalam melaksanakan fungsi pemerataan pembangunan. Artinya pemerintahan SBY secara tidak langsung mengamini kesalahan kebijakan ekonomi selama ini, dimana kesenjangan ekonomi dan akumulasi modal yang terpusat tidak bisa dihindarkan.

Bagaimana mungkin ditengah klaim keberhasilan pemberantasan kemiskinan, ekonomi yang relative kuat, rupiah stabil, indeks saham tertinggi dalam sejarah, dan cadangan devisa tertinggi. Tapi kenyataannya rakyat makin miskin dan makin banyak yang miskin, gap antara sikaya dan miskin semakin lebar. Jauh-jauh bicara keberpihakan pada pengusaha dan industri nasional, yang ada pengusaha nasional yang terjepit-sempit dilepas berkompetisi dengan asing yg nyata-nyata tidak seimbang.

Semua tau kalau saat ini kehidupan suatu Negara tidak terlepas dari interaksi global, semua juga tau saat ini tidak ada kebijakan murni sosialis dominasi Negara dan liberalis yg menghamba pada kekuatan pasar, dan semua telah tau akibat dari kebijkan ekstrim tersebut. Alan Greenspan Kepala Federal Reserve jaman Reagan jelas-jelas mengatakan dalam hearing dengan komisi Government Oversight & Reform di DPR Amerika oktober tahun lalu, mengakui melakukan kesalahan dalam kebijakan pasar yang telah dilakukan.

Ekonomi jalan tengah

Sebetulnya konsep ekonomi jalan tengah bukanlah hal baru, karena tampa disebut juga semua telah mengetahuinya, dimana point utama adalah kesejahteraan yang merata, dengan hasil yang bisa dinikmati baik oleh pelaku ekonomi nasional ataupun asing tanpa ada pembedaan. Disinilah sebenarnya jalan pikiran para teknokrat ekonomi SBY telah terperangkap dalam arus pemikiran liberal gaya baru.. Ditengah kondisi iklim yang tidak konsdusif, lemahnya sistim perekonomi mikro dan makro ditopang dengan ketidak siapan SDM nasional merupakan tindakan bunuh diri. Dengan konsep ini sebenarnya telah memuluskan gurita-gurita asing menghisap capital nasional, seperti yang selama lima tahun ini terjadi.

Ekonomi jalan tengah plus target pertumbuhan ekonomi 7% ke bawah tidak akan mengeluarkan bangsa ini dari krisis hanya dalam lima tahun. Itu artinya pemerintah tidak berkerja dlm menciptakan iklim usaha yg kondusif dan sistim perekomonian yang kuat, serta tidak perduli dalam mengatasi pengangguran yang mencapai 40 juta orang dan telah mencapai tingkat menghawatirkan.

Mencermati kinerja pemerintah lima tahun terakhir, ketahanan ekonomi yang selalu digembor-gemborkan dengan rata-ata 5,8% pertumbuhan ekonomi ternyata semu, penuh trik dan dalamnya bobrok. Indikasinya adalah jumlah hutang yang besar, pertumbuhan mengandalkan sector konsumsi yang jg berasal dari hutang, yang kemudian akan ditambal dengan hutang baru, tingkat inflasi tinggi , pengangguran tinggi, sector riil mandeg, sementara kapasitas produksi sector industri hanya tumbuh di bawah 2% pertahun.

Selanjutnya, target pertumbuhan maksimal 7% dengan mengandalkan tingkat konsumsi masyarakat ataupun pemerintah dengan arus investasi hot money (investasi jangka pendek) melalui pasar modal/saham yang terlalu spekulatif (uncertainty)-rentan terhadap aksi dan reaksi spekulan sebagai “dewa” pasar, justru ini yang menjadi ciri khas faham Neoliberalisme selain penjajahan ekonomi dalam memupuk modal, disadari atau tidak para ahli keuangan SBY telah terperangkap ke dalam mazhab neoliberalisme.

Dengan GDP Rp5000triliun tahun 2008, rasio hutang dan GDP hanya 33%, meyakinkan kalau hutang Negara yang begitu besar bukan masalah. Dengan selalu membanding-bandingkan dengan Negara lain. Padahal kita tau GDP kita disumbangkan pula oleh konsumsi pemerintah dan rakyat yang notabene mengandur unsure hutang. Anehnya, ditengah sesumbar berhasil memperkecil beban utang, Indonesia justru menduduki peringkat ke4 negara penghutang terbesar di dunia setelah Mexico, Brazil dan Turki.

Apa bedanya kalau utang dikurangi tapi privatisasi “buta” jalan terus, parahnya praktek KKN masih meralela. Besarlah pasak dari tiang, demi gengsi, hutang baru dikurangi namun BUMN kita dijualin terus. Inilah salah satu bukti asing masih memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia.

Persoalannya adalah, ditengah kondisi politik yang relative stabil dan perekonomian cenderung membaik pada 2004-2008 dibandingkan 2001-2004, seharusnya utang dapat diperkecil lagi, sector riil dapat diandalkan, sehingga sector produktif pertumbuhan ekonomi bisa memperbesar penyerapan lapangan kerja secara berkelanjutan. Adapun tenaga kerja nasional yang terserap hanya 30%, minimnya ketersediaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas tenaga kerja itu sendiri merupakan persoalan kelasik yang terus menghantui.

Kebijakan-kebijakan yang mengkebiri ekonomi kita, seperti pembebasan tariff impor untuk produk tententu, ekspor bahan baku, pemotongan pajak, disiplin fiscal, pengurangan peran pemerintah pada sector strategis, dst sangat terasa di depan mata. Sepertinya pemerintah harus kembali kekonsep awal yaitu menyelenggarakan kebijakan yang mensejahterakan rakyat secara luas dan merata. Pada tahun 1933 bung Hata melalui tiga platform pembangunan ekonomi kerakyatan yaitu , mensejahterakan seluruh rakyat, menghapuskan kolonialisasi ekonomi dan kemandirian ekonomi nasional.

Tindakan nyata Pemerintah

Krisis ekonomi membuat kedaulatan dan martabat bangsa diinjak injak, dan ini sudah terbukti dengan kejadian-kejadian yang mengganggu hubungan Indonesia dengan Malaysia. Jangan bicara kerakyatan kalau tidak bisa melindungi dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada rakyat, jgn bicara pertumbuhan-sustainable kalau hanya mengandalkan konsumsi dan hutang, jangan bicara kedaulatan kalau harga diri tergadai, jangan bicara kemandirian ekonomi kalau SDA kita dihisap oleh gurita-gurita kapitalis “berkedog” kerakyatan.

Konsep kebijakan ekonomi capres SBY-Boed menunjukkan ketidak-seriusan, ketidak -berpihakan dalam membangun dan memperkuat perekonomian kerakyatan yang selama ini telah terbengkalai. Saat ini Indonesia memerlukan eksselaresi pertumbuhan lebih dari 7%, percepatan pemberdayaan ekonomi nasional, menggerakkan sector riil, pembangunan infrastruktur efektif untuk mengejar ketinggalan atas kegagalan ekonomi yang selama ini terjadi. Selain tidak tegas, juga diragukan komitmennya untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa, padahal nyata-nyata perekonomian kita memerlukan keberpihakan pemerintah dalam mensupport kemandirian ekonomi kerakyatan.

Lebih dari itu, yang diperlukan saat ini tidak hanya keberpihakan pemerintah, tindakan nyata pemerintah dalam membangkitkan dan memajukan kemandirian ekonomi nasional, sehingga pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan dan industri nasional menjadi pilar utama dalam menopang perekonomian Indonesia secara berkelanjutan. Jauh panggang dari api, konsep ekonomi jalan tengah tidak merefleksikan perubahan pengelolaan pembangunan berdasarkan sumber daya yang kita miliki. Bagaimana mungkin kita akan mempertahankan reputasi sebagai Negara miskin, Negara korup dan Negara penghutang besar, sementara kata orang Negara kita adalah Negara kaya dengan sumber-sumber daya melimpah, namun selalu gelisah menatap masa depan dengan pasrah. (zuli)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda