Rabu, 06 Januari 2010

Kemelut Perubahan Sistim Pemilihan Gubernur di Indonesia (Suatu tinjauan demokrasi dan Otonomi Daerah)

Kemelut Perubahan Sistim Pemilihan Gubernur di Indonesia
(Suatu tinjauan demokrasi dan Otonomi Daerah)

Warga Negara dalam hal ini rakyat berhak untuk melakukan proses politik dan keputusan-keputusan politik baik nasional ataupun local sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan kedaulatan rakyat. Artinya dalam setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk melakukan aktifitas yang berhubungan dengan negara. Untuk itu warga Negara juga mendapat hak yang sama dalam melakukan aktifitas-aktifitas politik dan keputusan politik.
Keputusan politik warganegara yang paling kentara adalah pada saat pemilihan umum, selanjutnya, menurut ketentuan individu-individu dalam masyarakat juga dapat dipilih. Dalam memilih dan dipilih masyarakat memiliki hak kebebasan dalam ikatan kebersamaan.
Dalam pemilu, apakah legislatif ataupun eksekutif pusat dan atau daerah, rakyat dapat menggunakan haknya atau suaranya untuk memilih calon yang dianggap dapat mewakili aspirasinya dalam mempengaruhi keputusan politik. Agregasi kepentingan masyarakat pada pemilu legislative diwakili oleh partai politik dengan system suara terbanyak atau mayoritas.
Esensi dari kehidupan berdemokrasi adalah persamaan dan kebebasan. Persamaan dalam hukum dan kebebasan dalam hak memilih atau dipilih. Melalui pemilihan langsung, rakyat dihadapkan langsung untuk melakukan keputusan politik untuk memilih calon pemimpin yang diinginkannya secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Selain unsure kebebasan di dalamnya juga mengandung unsure persamaan hak di depan hukum baik diantara pemilih maupun dengan yang dipilih.
Lebih jauh the founding fathers Dr. Moh. Hatta wakil presiden RI pertama menekankan hakikat otonomi daerah pada esensi demokrasi dan kemandirian masyarakat, yang menyatakan :
“..memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-aktiveit. Auto-aktiveit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiveit tercapailah apa yang demaksud demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat..”(LAN, Jakarta 1996)

Oleh karenanya warga Negara yang terdiri dari berbagai elemen atau unsur-unsur sebuah Negara memiliki persamaan sederajat dengan masyarakat yang lainnya dalam kehidupan berpolitik. Selanjutnya masyarakat juga memiliki kepentingan-kepentingan pembawaannya yang dalam sistim politik terwakili oleh partai politik sebagai salah satu struktur politik dalam kehidupan berdemokrasi, selanjutnya disebut konstituen.
Banyak persoalan yang terjadi pada periode UU Nomor 5 Tahun 1974. Pasca perubahan format pemerintahan daerah dengan UU nomor 22 Tahun 1999 mengakhiri pengaruh pemerintah pusat yang dominan. Namun pemilihan kepala daerah oleh DPRD Provinsi membawa implikasi persoalan cukup serius baik pada tingkat elit maupun masyarakat local, seperti money politic antara calon kepala daerah dan DPRD, lobi-lobi politik yang jauh dari pantauan masyarakat sebagai social control, sampai kontroversi calon terpilih yang tidak memiliki kapasitas untuk memimpin daerah, tidak popular dan tidak dapat diterima oleh masyarakat banyak. Hal ini akan bermuara pada ketidak perdulian masyarakat sebagai elemen utama pembangunan yang mengawasi jalannya proses pembangunan dan pemerintahan di daerah.
Sampai tahap ini melahirkan apa yang disebut Strong Legislative, dimana Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi, membawa persoalan lain dalam pemerintahan di daerah, seperti terhambatnya proses pemerintahan, kinerja pelayanan yang rendah dan pembangunan yang terhambat di daerah. Dengan kata lain gubernur tidak memiliki wewenang utuh dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Hal ini lah yang membawa pada keinginan utuk merevisi terbatas UU 22 Tahun 99 menjadi UU 34 Tahun 2004 yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di suatu daerah.
Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, Andi Ramses (2003) menyatakan :
….”Demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat local (Robert Dhal, 1989). Tanpa pemberdayaan local, maka kerangka demokrasi pada tingkat nasional akan rapuh. Dalam proses ini perlu pembelajaran politik yang efektif yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, seingga masyarakat local benar-benar mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan tentang berbagai hal menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka”…

Pada perkembangannya ada keinginan pemerintah untuk merubah ketentuan tersebut dengan pemilihan gubernur oleh anggota legislative provinsi. Dengan argument bahwa pemilihan gubernur langsung memakan biaya yang terlalu besar dan membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Argument lain yang dibangun adalah Gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, dan hanya menjalankan tugas-tugas administrative, selain itu, mayoritas rakyat Indonesia masih “bodoh”, tidak dapat menentukan pilihannya dengan tepat, sehingga memungkinkan terjadinya “terror” politik.
Berdasarkan penjelasan di atas, sistim pemilihan gubernur harus dapat menjawab pertanyaan mendasar sebagai berikut:
1. Apakah pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi sesuai dengan esensi demokrasi?
2. Apakah pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi telah sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah?

Pemilihan Gubernur Sebagai Wujud Demokrasi Di Daerah
Filsuf berpengaruh Ariestoteles (384-322 SM) jauh-jauh hari telah mengisyaratkan keputusan warganegara mayoritas untuk berpartisipasi langsung dalam memilih calon pemimpinnya jauh lebih baik dibanding sejumlah orang tertentu (DPR/DPRD) :
….”Orang secara individual rentan dikuasai oleh kemurkaan atau perasaan-perasaan lain, dan karenanya penilaiannya cenderung tidak sempurna. Namun agak sulit memperkirakan bahwa manusia dalam jumlah besar akan terjerumus dalam suatu perasaan tertentu dan berbuat kesalahan pada saat yang sama”….

Pemlihan kepada daerah atau gubernur provinsi secara tidak langsung oleh DPRD dipandang tepat pada masa lalu karena paralel dengan pemilihan presiden oleh MPR. Pada era sentralisasi, pemerintah pusat memiliki pengaruh kuat dalam mempengaruhi terpilihnya gubernur disuatu provinsi, DPRD setempat hanya melegitimasi calon yang telah dipesan. Dan ini menimbulkan banyak konflik pemilihan kepala daerah. Issu tentang disintegrasi bangsa pada waktu itu sangat hangat.
Fakta menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat ini tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dimana agregasi kepentingan dan akulturasi kepentingan dalam sistim politik tidak tersalurkan, terjadi penyumpatan. Banyak kebijakan-kebijakan yang dihasilkan bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas.
Orang secara individual rentan dikuasai oleh kesewenangan atau hasrat-hasrat lain, karenanya penilaiannya cenderung bermasalah. Namun warga Negara dalam jumlah besar agak sulit akan terjerumus berbuat kesalahan dan hasrat-hasrat lain. Adalah mayoritas yang baik bisa bertanya mana yang tahan terhadap kemungkinan korupsi, apakah seorang pemimpin yang baik atau orang baik dalam jumlah yang banyak?
Partai politik melalui anggota DPRD cenderung dekat dengan kekuasaan dan sangat rentan terjadinya penggiringan kepentingan, sehingga bukan saja bertentangan dengan keinginan pemilih tetapi memungkinkan tejadinya bargaining politik yang mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Satu hal disini apakah prinsip keterwakilan melalui anggota DPRD yang terpilih dan memilih itu telah mewakili suara mayoritas masyarakat?.
Implikasinya adalah, pemberdayaan potensi local tidak paralel dengan perkembangan demokrasi di daerah. Masyarakat akan merubah kembali pemikirannya (main set) tentang pemilihan gubernur cukup diwakili oleh anggota DPRD Provinsi. Hal ini akan membentuk opini keragu-raguan terhadap gubernur terpilih, karena masyarakat tidak merasa memilih langsung calonnya, dan si calon terpilih tidak memiliki rasa bertanggung jawab langsung kepada masyarakatnya.
Hal lain, masyarakat mulai terbiasa dengan model pemilihan langsung, karena telah beberapa kali dilakukan baik pemilu local ataupun nasional dan merasa telah menyalurkan aspirasinya sesuai dengan keputusannya sendiri. Walaupun pada akhirnya pilihannya tidak terpilih, tapi ada rasa kepuasan, dan untuk yang tepilih dapat manjadi umpan balik baginya untuk mengevaluasi hasil pilihannya.
Proses pendewasaan ini terus tumbuh, ada proses pembelajaran disini, walaupun praktik-praktik money politik masih mewarnai dalam mempengaruhi keputusan individu untuk memilih calon tertentu, namun dengan sendirinya masyarakat akan mengalami pendewasan dan pematangan dalam kehidupan berdemokrasi secara utuh.
Memang ongkos yang dikeluarkan untuk mengadakan pesta demokrasi tidak sedikit. Pada titik ini, jika ingin berhitung terhadap ongkos yang telah dan akan dikeluarkan, maka Negara Indonesia akan mengalami kerugian besar. Tak terbayang berapa Rupiah yang telah dikeluarkan demi pematangan demokrasi di negeri ini. Belum lagi kerugian non material, social dan bahkan nyawa yang telah dikorbankan demi tegaknya demokrasi Negara Indonesia yang lebih baik.
Yang lebih miris, kita tak tahu kapan akan kembali lagi kepemilihan gubernur langsung jika wacana pemilihan gubernur oleh DPRD provinsi terlaksana, karena merubah aturan hukum tidak semudah yang dibayangkan. Artinya Bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa yang terbelakang dalam berdemokrasi. Selanjutnya, model pemilihan ini sudah pernah dijalankan, kasus berlarutnya pemilihan Gubernur Provinsi Lampung tahun 2004 membawa polimik berkepanjangan dan perpecahan dimasyarakat, sehingga masyarakat Lampung terkorbankan.
Wahyudi Kumorotomo (1996) menegaskan pentingnya partisipasi dan aspirasi warga Negara sebagai hak asasi dalam pembangunan politik :
”Bukan rahasia lagi bahwa di Negara kita ini pertimbangan pertimbangan ekonomis, stabilitas dan security sering mengalahkan pertimbangan-pertimbangan mengenai aspirasi dan hak asasi mereka sebagai warga Negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah disubordinasi oleh pembangunan ekonomis maupun kebijakan-kebijakan pragmatis tertentu”…

Pemilihan Gubernur Dalam Semangat Otonomi Daerah
Proses kehidupan berdemokrasi telah lama dibangun. Paska reformasi 1998, tuntutan untuk melaksanakan Negara yang demokratis terus digulirkan. Melahirkan UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menggantikan UU nomor 22 tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah
Pasal 24 ayat (2),(3) dan (5) UU nomor 34 tahun 2009 mengamanatkan : “kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat (2) dan (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Serentetan alur perkembangan dan pematangan berdemokrasi kurun waktu 10 tahun terakhir akan dirusak dengan mengubah aturan mengenai pemilihan gubernur.
Desentralisasi kepada daerah otonom mensyaratkan adanya penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri. Hal ini tidak hanya menuntuk pelimpahan wewenang, tapi juga menuntut pelimpahan administrasi dan pelimpahan fiskal (desentralisasi fiscal) pada suatu daerah otonom. Artinya ketiga kewenangan itu tidak dapat dipisahkan.
Walaupun gubernur sebagai wakil pemerintah atau perpanjangan pemerintah pusat di daerah melalui pelimpahan wewenang dekonsentrasi, namun pemerintahan provinsi adalah bagian dari pemerintahan daerah itu sendiri yang memiliki tugas dan wewenang menjalankan pemerintahan di daerah dengan otonomi seluas-luasnya dalam skala Provinsi.
Douglas McGregor ia menyimpulkan bahwa :
“People tend to grow and develop more rapidly and they are motivated more effectively if decision making are decentralistic”.

Dikatakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya dapat memperbaiki kualitas dari keputusan yang diambil, tetapi juga akan memperbaiki kualitas pengambil keputusan itu sendiri, dalam hal ini keputusan politik masarakat local.
Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pembelajaran politik dalam upaya memperkuat sistim local dan otonomi daerah sebagai proses demokratisasi. Selanjutnya pemilihan gubernur langsung juga sebagai proses pemberdayaan masyarakat di daerah melalui partisipasi public dalam melakukan keputusan politik menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka, sehingga gubernur yang terpilih juga mendapat legitimasi yang cukup kuat dimasyarakat, karena prosesnya dilakukan secara langsung oleh masyarakat.
Pemilihan gubernur secara langsung memberikan ruang terciptanya semangat otonomi daerah berdasarkan nilai-nilai demokrasi dan kesadaran politik local (Conscientization) untuk terlibat lebih jauh dalam realitas social politik yang ada. Dalam konteks ini kedaulatan rakyat menjadi lebih mudah dipahami dan diimplementasikan dalam semangat otonomi daerah.
Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, Andi Ramses (2003) dalam “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung” menyatakan :
….”Demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat local (Robert Dhal, 1989). Tanpa pemberdayaan local, maka kerangka demokrasi pada tingkat nasional akan rapuh. Dalam proses ini perlu pembelajaran politik yang efektif yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, seingga masyarakat local benar-benar mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan tentang berbagai hal menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka”…

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Pemilihan Gubernur langsung merupakan proses pembelajaran demokrasi yang menekankan pada pemberdayaan masyarakat local sebagai upaya dari pembangunan mayarakat yang bebas dan bermartabat.
Menurut United Nation Center For Regional Development (UNCRD, 1985) bahwa model pembangunan yang lebih desentralistik salah satunya yang paling utama adalah pembangunan manusia, dimana :
“kehendak, komitmen, dan kemampuan manusia sebagai anggota masyarakat merupakan sumber pembangunan yang strategis”. “Pembangunan masyarakat menyangkut suatu upaya terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensialitas anggota masyarakat dan memobilisasikan antusiasme mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, pembangunan masyarakat.
…dengan demikian merupakan upaya “….to promote the empowerment of people, instead of perpetuating the depency creating relationship so characteristic of top-down approach” (Hollnsteiner, 1985)

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan akses mendekatkan diri kepada masyarakat, memberdayakan segenap potensi local, membaiknya proses pelayanan public. Tak dapat dipungkiri pemilihan kepala daerah langsung yang selama ini telah dilaksanakan juga memiliki berbagai persoalan dan kelemahan yang harus terus diperbaiki.
Berbagai persoalan dan kontroversi terus mewarnai pemilihan kepala daerah langsung yang telah dilaksanakan belakangan ini. Ke depan, itu diperlukan langkah-langkah strategis demi perbaikan sistim pemilihan kepala daerah langsung dan meningkatkan kualitas kepala daerah terpilih. Berkaitan dengan ini hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah:
Pertama, pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan secara demokratis, yang memberikan peluang kepada calon kepala daerah untuk berkompetisi secara fair dan peningkatkan partisipasi public dalam proses pemilihan. Untuk itu diperlukan aturan pemilihan kepala daerah yang sesuai dengan semangat demokrasi. Pemilihan kepala daerah harus bebas dari segala bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara pada berbagai tingkatan.
Kedua, pilkada langsung harus didasari prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Hal ini menyangkut sistim, personal, alat dan aturan berlaku harus dapat diarahkan untuk proses pilkada gubernur dengan ongkos se-efisien dan seoptimal mungkin. Tahap-tahapan pemilihan tidak rumit atau sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Selain itu tahap-tahapan pelaksanaan pilkada dilakukan secara terbuka dan transparan.
Ketiga, sosialisasi peraturan dan aturan main pilkada gubernur secara intensif harus dilaksanakan kurun waktu tiga sampai enam bulan sebelum pemilihan, tidak ada perubahan aturan pemilihan dalam periode tersebut, dan tidak hanya urusan KPUD. Untuk itu diperlukan upaya semua pihak dan elemen masyarakat untuk mensuksesannya. Disini diperlukan suatu komunikasi politik dan pendidikan politik antara supra dan infrastur politik secara berkesinambungan dan objektif.
Keempat, lembaga-lembaga Pemilihan Umum Daerah seperti KPUD dan Panwaslu harus kredibel, professional, independent dan bertanggung jawab. Untuk itu perlu mendesain ulang proses rekruitmen, proses pengawasan, penyelesaian sengketa, perselisihan, dan pelanggaran pemilu. Untuk pelanggaran yang mengandung unsure pidana kiranya dapat dibentuk peradilan ad hoc pemilihan.
Kelima, diperlukan keakuratan jumlah dan sebaran mata pilih pada suatu daerah. Jumlah pemilih dan harus credible dan up to date. Hendaknya carut marut Daftar Pemilih Tetap (DPT) seperti pemilu 2009 lalu tidak terulang. Untuk itu perlu penegasan tentang siapa yang bertanggung jawab atas urusan ini, apakah KPU/KPUD ataukah Pemerintah Pusat/daerah. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan pihak terkait dalam hal perbaikan sistim administrasi kependudukan dan catatan sipil.
Wacana mengubah pemilihan gubernur langsung dengan pemilihan gubernur yang dipilih oleh anggota legislative provinsi sesungguhnya penistaan terhadap esensi demokrasi dan semangat otonomi daerah. Karena mengabaikan kedaulatan rakyat, dan menghilangkan unsure-unsur kebersamaan dan kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi, mengakibatkan legitimasi gubernur sebagai kepala daerah pun diragukan, sehingga proses pelayanan kepada masyarakat, pembangunan di daerah dan pendewasaan demokrasi di daerah menjadi terhambat.
Selanjutnya, sistim pemilu dan kepartaian di Indonesia belum berjalan dengan baik, belum menghasilkan anggota dewan yang memiliki kapabilitas. Partai politik melalui anggota dewan belum berjalan sesuai yang diharapkan mewakili kepentingan orang banyak. Sehingga mempercayakan kepada anggota DPRD Provinsi untuk memilih gubernur adalah tindakan yang mendustai semangat otonomi daerah.
Sistim pemilihan kepala daerah secara langsung harus terus diperbaiki demi tercapainya tujuan otonomi daerah sehingga menghasilkan gubernur atau kepala daerah yang memiliki kapabilitas dan kepercayaan masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Berdasarkan analisis di atas wacana untuk merubah sistim pemilihan gubernur tidak dapat diterima secara aturan perundang-undangan, prinsip-prinsip demokrasi dan semangat otonimi daerah. Demikian hendaknya tulisan ini dapat mengilhami perlu atau tidaknya pemilihan gubernur oleh anggota DPRD provinsi, dan bentuk pemilihan gubernur langsung oleh masyarakat setempat adalah bentuk yang paling ideal saat ini.
Tuntutan akan perlunya pemilihan gubernur langsung merupakan paket energi untuk perkembangan demokrasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai dasar pemikiran dari tulisan ini, adalah hal-hal utama yang memberikan pencerahan dan penekanan terhadap pentingnya sistim pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati ataupun walikota secara langsung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi sebagai upaya mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan kehidupan berdemokrasi di Indonesia.